Tradisi Uang Jemputan Bukan 'Membeli Pria' dan Bukan Adat Minangkabau, Begini Faktanya

Tradisi Uang Jemputan Bukan 'Membeli Pria' dan Bukan Adat Minangkabau, Begini Faktanya

Tradisi Uang Jemputan Bukan 'Membeli Pria' dan Bukan Adat Minangkabau, Begini Faktanya--

Terkait jumlah uang japuik, menyesuaikan status sosial lelaki tersebut. Semakin tinggi status sosial sang lelaki dan keluarga, maka akan semakin tinggi pula nilai uang japuik. 

BACA JUGA:Tradisi Membuang Orang Tua Renta di Jepang Dengan Dibiarkan Mati di Hutan Antara Fakta dan Dongeng

BACA JUGA:Sosok Pahlawan 'Setia Sampai Mati' Mongisidi, Tolak Pengampunan Belanda Rela Ditembus Timah Panas

Ukuran status sosial ditentukan dengan gelar laki-laki yang diperoleh dari ayah, yakni apakah bergelar sidi (saidina/orang alim), sutan (sultan) dan bagindo (baginda). 

Dahulu, alat ukur untuk uang japuik bukanlah uang rupiah, melainkan ameh atau emas. Besaran nilainya terhitung sekitar satu ameh atau setara dengan 2,5 gram emas. 

Besaran uangnya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Uang jemputan ini bukan termasuk mahar tetapi merupakan biaya yang dikeluarkan pihak perempuan untuk membawa lelaki untuk tinggal dikeluarga pihak perempuan.

Tradisi ini termasuk kedalam unsur Adat Nan Diadatkan yang memang dapat berubah dan diubah dengan cara musyawarah.

Dalam sejarahnya juga, tradisi bajapuik bermula saat Pariaman menjadi daerah pertama di Sumatera Barat yang menerima kehadiran ajaran agama Islam. 

Maka adat Minangkabau banyak bersumber dari kitab Al-Qur’an. Pepatah Minang bertutur, "adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah" yang berarti seluruh adat Minang bersendikan syariat Islam.

Kemungkinannya tradisi masyarakat Pariaman ini terinspirasi dari kisah pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti Khadijah. Saat itu, Khadijah memberikan sejumlah hartanya kepada Rasulullah untuk menghormati dan mengangkat derajat beliau.*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: