Kisah 'Jongos dan Babu' Masa Penjajahan Belanda, Manusia Rendah Menjadi Pesuruh Hingga Pelampiasan Nafsu

Kisah 'Jongos dan Babu' Masa Penjajahan Belanda, Manusia Rendah Menjadi Pesuruh Hingga Pelampiasan Nafsu

Kisah 'Jongos dan Babu' Masa Penjajahan Belanda, Manusia Rendah Menjadi Pesuruh Hingga Pemuas Nafsu--

RADARMUKOMUKO.COM - Salah satu bentuk kekejian penjajah pada bangsa Indonesia yaitu perbudakan terhadap warga pribumi. Tidak sedikit masyarakat yang menjadikan Djongos dan Baboe atau Jongos dan Babu.

Babu dan jongos dalam pengertiannya adalah sebutan untuk orang-orang yang bekerja melayani para petinggi Belanda saat itu. Kasar adalah pelayan, pembantu, atau asisten rumah tangga. 

Tugas dari babu dan Djogos tentu mengurus keperluan orang Belanda, mulai dari masak, bersih rumah, menjaga anak, menjaga kuda atau ternak dan berbagai kerja rendahan seorang budak lainnya.

Sebetulnya bukan pada masa Belanda saja, jauh sebelumnya perbudakan seperti ini sudah terjadi, bahkan pada masa kerajaan di Indonesia.

Jongos adalah istilah bagi pembantu berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan babu lebih identik dengan pesuruh perempuan.

BACA JUGA:Alasan Warga Indonesia Tak Bisa Berbahasa Penjajah Belanda, Nenek Moyang Memilih Membuang Tentang Belanda

BACA JUGA:Mengapa Taktik Gerilya Dipilih Untuk Melawan Penjajah, Bukankah Ada Taktik yang Lain, Berikut Penjelasannya

Orang-orang Belanda yang ada di Indonesia kala itu apalagi petingginya memiliki rumah besar. Hingga banyak orang kaya Belanda-Eropa punya belasan bahkan ratusan budak. 

Hidup orang Belanda penuh gengsi dan eksklusif, mereka hidup di dunianya sendiri dengan label masyarakat kelas satu, terpisah dari dunia orang pribumi sebagai warga kelas rendah.

Maka pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan kasar lainnya yang bersifat bantu-bantu menjadi pekerjaan milik pribumi di mata orang Belanda.

Yang parahnya lagi, tidak jarang babu atau pelayan wanita yang dipekerkan, juga mereka jadikan sebagai pelampias birahi. Tentu seorang Babu harus melayaninya, jika monolak akibatnya bisa dihukum cambuk, dipukul bahkan bisa dibunuh.

Tidak jarang juga wanita yang lebih cantik dijadikannya sebagai Gundik atau wanita simpanan yang khusus melayani urusan ranjang tanpa ada ikatan pernikahan.

Melasir dari voi.id, sebuah cerita datang dari tuan tanah kaya raya bernama Augustijn Michiels atau yang akrab disapa Mayor Jantje pada abad ke-19.

 Djoko Soekiman, dalam bukunya Kebudayaan Indis (2011) menjelaskan, pada tahun 1831, rumah tangga Mayor Jantje memerlukan 320 orang budak. 30 orang di antara mereka bertugas sebagai pemain musik yang serba bisa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: