Kisah Petani Asal Nganjuk, Pendiri Ponpes Daarun Naashihin Mukomuko
''Rendah hati, tidak sombong dan tegur sapa. Itu bagian dari modal ketika kita berada diperantauan. Kita harus pandai memposisikan diri. Bergaul dengan tetangga, peduli dengan sesama dan bermasyarakat. Perlu ditanamkan, niatkan dengan ikhlas bahwa kehadiran kita diperantauan bisa memberi manfaat untuk orang lain,'' ungkap Moh Nashihin mengawali kisahnya.
Moh Nashihin putra kelahiran 1963, Ngebrugan, Desa Drenges, Kecamatan Kertosono Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Merupakan seorang petani, pendiri Pondok Pesantren Daarun Naashihin Desa Banjar Sari, Kecamatan Sungai Rumbai, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu.
Moh Nashihin meninggalkan Nganjuk sejak tahun 1983. Ia merantau dan menginjak tanah Kapuang Sati Ratau Batuah, Mukomuko ketika masih berusia 20 tahun dan masih berstatus lajang. Hidup diperantauan, apapun pekerjaan dilakoni dengan senang hati, yang penting halal.
Setahun di Kabupaten Mukomuko, ia berhasil mengumpulkan sedikit demi sedikit modal hidup dari hasil usaha bertani. Diawali dengan niat baik, ia mempersunting seorang perempuan bernama Saini, usianya selisih tiga tahun lebih muda darinya. Bersama Saini istrinya, dianugrahi satu orang putra dan dua putri. Putra sulungnya bernama Santo Valentino. Kemudian anak keduanya, Ira Rohiyah dan ketiganya Choirun Nasyirin. Keluarga kecil mereka masih tinggal dan menetap di Desa Banjar Sari.
Sosok bermasyarakat, Moh Nashihin pernah diamanahkan menjadi pemimpin di desanya. Ia dipercaya masyarakat menjabat Kades Banjar Sari periode 2009 hingga 2015. Tak cukup disitu, Moh Nashihin setelah berhenti menjabat Kades, tetap berdikari dalam kebermanfaatan.
Di tahun 2015, hasil kerjanya selama 22 tahun sebagai petani disisihkan sebagian untuk amal ibadah. Tanah seluas 34.527 meter persegi atau 3,4 hektare (ha) dihibahkan sebagai lokasi pendirian Pondok Pesantren (Ponpes). Di atas tanah itu, juga telah berdiri saran dan prasarana pendidikan. Fasilitas tempat belajar santri telah dibangun ruang belajar ukuran 7 x 21 meter. Bangunan ruang belajar yang sederhana ini, cukup untuk menampung santri 3 rombongan belajar (rombel). Tak hanya itu, rumah pengasuh Ponpes juga telah disediakan, ukuran bangunan 6x9 meter.
''Ya bangunan pondok baru bisa berdiri gedung ruang belajar dan rumah pengasuh. Bangunannya masih sangat sederhana, namun sudah dialiri listrik dan dilengkapi fasilitas lainnya,'' ujar Moh Nashihin.
Moh Nashihin mengakui bahwa dalam mengembangkan sekolah agama harus sabar mengdahapi berbagai ujian. Di tahun 2016 hingga 2014, banyak santri belajar dan menamatkan pendidikan di pondok itu. Setelah 2014, hingga saat ini aktivitas belajar mengajar sempat terhenti.
''Banyak anak-anak santri yang datang ke rumah dan bertanya, kapan pondok dibuka kembali,'' ulasnya.
Sesuai rencana, Moh Nashihin kembali mencari solusi mengaktifkan kegiatan belajar dan mengajar di pondok itu. Mulai dari tahun 2021 ini, ia kembali berbenah.
''Ya, kami ingin tahun ini pondok pesantren kembali diaktifkan. Kami ingin, para santri di pondok tidak hanya belajar ilmu agama sesuai mata pelajaran. Tetapi mereka juga dibekali ilmu lainnya, setidaknya mereka diberdayakan bisa mengembangkan usaha pertanian dan perdagangan,'' begitu disampaikan Moh Nashihin. (nek)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: