RMONLINE.ID - Doom spending adalah fenomena belanja impulsif yang dilakukan sebagai respons terhadap kecemasan atau ketidakpastian hidup. Istilah ini semakin ramai diperbincangkan di kalangan Gen Z dan milenial, terutama di tengah tekanan ekonomi dan gaya hidup konsumtif yang terus meningkat.
Dengan pengaruh media sosial dan kemudahan belanja online, banyak anak muda merasa terdorong untuk membeli barang-barang demi mengikuti tren atau promo yang berlangsung singkat, meski kondisi finansial mereka mungkin tidak mendukung.
Fenomena doom spending banyak dipicu oleh tekanan psikologis, seperti kecemasan terhadap masa depan atau Fear of Missing Out (FOMO). Ketika mereka merasa khawatir akan ketinggalan tren atau pengalaman, belanja seringkali menjadi pelarian sementara untuk mengurangi stres.
BACA JUGA:Resep dan Cara Mudah Membuat Nasi Goreng Arang yang Bikin Nagih
BACA JUGA:Ini 5 Resep Rebusan Daun yang Mudah Dibuat Untuk Mengatasi Nyeri Sendi?
Platform e-commerce yang menawarkan promo besar-besaran, seperti Harbolnas atau flash sale, semakin memperburuk situasi ini. Gen Z dan milenial di Indonesia, yang sangat aktif di media sosial seperti Instagram dan TikTok, menjadi sasaran empuk dari promosi-promosi yang mendorong belanja impulsif.
Doom spending bukan hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga pada kondisi keuangan. Banyak anak muda yang akhirnya menumpuk utang akibat perilaku ini.
Akses mudah ke layanan paylater seperti GoPay dan OVO juga membuat mereka semakin terjebak dalam lingkaran belanja berlebihan tanpa perencanaan. Studi dari Katadata menunjukkan bahwa hampir separuh Gen Z di Indonesia mengaku kesulitan menabung secara konsisten.
Untuk menghindari dampak negatif doom spending, beberapa langkah dapat dilakukan. Pertama, penting untuk membuat anggaran bulanan yang realistis dan menetapkan prioritas keuangan.
BACA JUGA:Baru Mendengar Ternyata Biji Alpukat Punya Rahasia Turunkan Kolesterol dan Gula Darah! Ini Caranya
BACA JUGA:Inilah Berbagai Manfaat Susu Kambing, Nutrisi Alami Kesehatan Optimal
Kedua, memberikan jeda waktu sebelum melakukan pembelian dapat membantu mengevaluasi apakah barang tersebut benar-benar diperlukan.
Terakhir, meningkatkan literasi keuangan melalui aplikasi pengelola keuangan atau mengikuti seminar tentang manajemen keuangan bisa membantu anak muda lebih bijak dalam mengelola pengeluaran mereka.*