Tugas tersebut tidak boleh dikerjakan dalam satu waktu sekaligus melainkan sesuai porsi harian siswa.
Maksudnya tentu baik yakni untuk menciptakan kebiasaan dan meminimalisir siswa melupakan ilmu yang sudah dipelajari.
Sayangnya, kebijakan tugas harian ini terkadang cukup menyita waktu anak sehingga mereka kesulitan dalam mengembangkan diri di bidang lainnya.
2. Kumon bisa menjadi mimpi buruk bagi sang anak
Tidak semua anak cocok dengan metode belajar Kumon. Bahkan, tak jarang anak-anak mengutarakannya sebagai mimpi buruk masa kecil.
Hal ini mungkin disebabkan oleh sistem khas yang diimplementasikan di Kumon yakni larangan menggunakan jari dalam menghitung serta praktik belajar mandiri oleh setiap siswa.
BACA JUGA:Prinsip yang Harus di Miliki dan Dipegang Teguh Agar Sukses Membangun Usaha
BACA JUGA:Jelang Pilkada Sapuan Main Dua Kaki, Ikut Balon Gubernur Bengkulu dan Bakal Calon Bupati Mukomuko
Anak-anak yang belum beranjak dewasa lazimnya terbiasa belajar menghitung menggunakan jemari mereka.
Ketika ada larangan tidak boleh memakai jari, tak jarang mereka merasa seperti sedang dipaksa melakukan sesuatu yang sulit dan tak disukai.
Setali tiga uang, sistem belajar individualis yang minim interaksi juga berpotensi membuat anak menjadi tak lagi termotivasi.
3. Metode repitisi pada Kumon bisa dianggap membosankan
Bukan rahasia lagi kalau metode yang diberlakukan di Kumon adalah pengulangan. Anak akan diberikan soal-soal yang persis setiap harinya selama masih berada di level yang sama.
Walaupun soalnya tak berbeda, mereka dilarang keras untuk mencontek jawaban dari lembar yang sudah tuntas sebelumnya.
Gaya repetisi ini mungkin bekerja bagi sebagian anak sehingga mereka mampu menghitung cepat tanpa alat bantu.
Di sisi lain, ada anak-anak yang justru merasa bosan dengan pembelajaran yang diterapkan lantaran merasa tidak ada kemajuan atau tantangan.