RADARMUKOMUKO.COM - Kongo, sebuah negara di Afrika Tengah, terbagi menjadi dua: Republik Demokratik Kongo (RDK) dan Republik Kongo. Kedua negara ini memiliki sejarah yang penuh dengan konflik, kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Namun, di tengah kondisi yang suram, ada satu hal yang tetap menjadi prioritas bagi sebagian warga Kongon: fashion pakaian branded.
Menurut laporan BBC, warga Kongon memiliki tradisi yang disebut “La Sape”, singkatan dari “Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes” atau “Masyarakat Orang-orang Bergaya dan Elegan”. Tradisi ini berasal dari zaman kolonial, ketika para pekerja Kongon yang bekerja di perkebunan karet Prancis mulai meniru gaya berpakaian majikan mereka
BACA JUGA:Ini Tempat Wisata Murah Di Solo dan Wisata Religi Masjid Aljabar Jawa Barat, Cocok untuk Liburan Akhir Tahun .
La Sape adalah sebuah gerakan budaya yang menekankan pentingnya berpenampilan rapi, modis, dan mewah. Para pengikut La Sape, yang disebut “sapeur”, mengenakan pakaian-pakaian branded dari merek-merek terkenal seperti Gucci, Prada, Dior, Balenciaga, dan Supreme. Mereka juga menghias diri dengan aksesoris seperti topi, kacamata, jam tangan, dan sepatu.
Para sapeur menganggap diri mereka sebagai seniman, yang menggunakan pakaian sebagai media ekspresi diri. Mereka juga berusaha untuk menunjukkan sikap positif, sopan, dan santun, sebagai bentuk protes terhadap kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi di negara mereka. Mereka percaya bahwa dengan berpakaian rapi, mereka dapat menginspirasi orang lain untuk berubah menjadi lebih baik.
Namun, tradisi La Sape juga memiliki dampak negatif bagi warga Kongon. Banyak dari mereka yang rela mengorbankan kebutuhan pokok seperti makanan, kesehatan, dan pendidikan demi membeli pakaian-pakaian branded. Mereka juga sering berhutang, mencuri, atau menjual barang-barang berharga mereka untuk membiayai gaya hidup mereka.
BACA JUGA:Liburan Tahun Baru Asik Sambil Mandi, Sako Tapan Wisata Favorit Warga 3 Provinsi
Salah satu contoh adalah Paul, seorang sapeur yang tinggal di Kinshasa, ibu kota RDK. Dia mengaku menghabiskan sekitar $500 per bulan untuk membeli pakaian-pakaian branded, padahal penghasilannya hanya sekitar $100 per bulan. Dia juga mengaku tidak memiliki tabungan, asuransi, atau rencana masa depan. Dia hanya hidup untuk hari ini, dan untuk La Sape.
“La Sape adalah hidup saya. Saya tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Saya hanya ingin berpakaian bagus dan membuat orang lain kagum. Saya tidak membutuhkan makanan atau obat-obatan. Saya hanya membutuhkan pakaian,” kata Paul.
Paul bukanlah kasus yang langka. Banyak warga Kongon yang memiliki pemikiran yang sama dengan dia. Mereka menganggap La Sape sebagai cara untuk melarikan diri dari kenyataan yang pahit, dan untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Mereka juga merasa bangga dengan identitas mereka sebagai sapeur, dan tidak mau mengubah gaya hidup mereka.
BACA JUGA:Bikin Lidah Bergoyang, Inilah Resep Ayam Bakar Madu Mudah Anti Ribet Hanya dengan Teflon
Tradisi La Sape menunjukkan betapa kuatnya pengaruh fashion pakaian branded bagi warga Kongon. Meskipun banyak yang mengkritik mereka sebagai orang-orang yang boros, bodoh, dan tidak bertanggung jawab, mereka tetap bertahan dengan keyakinan mereka. Mereka menganggap La Sape sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan, dan sebagai simbol harapan di tengah kesulitan.