RADARMUKOMUKO.COM - Salah satu yang sering diceritakan dan dibanggakan adalah soal emas puncak tugu Monumen Nasional (Monas), dikatakan berasal dari Provinsi Bengkulu, yaitu dari Desa Lebong Tandai. Saat ini desa tersebut masih terpencil dan termasuk daerah terisolir.
Asal usulnya, Emas di Tugu Monas merupakan sumbangan dari pengusaha asal Aceh, yaitu Teuku Markam. Adapun emas tersebut diambil dari tambang yang disebut Lubang Kacamata karena pintu masuk tambang berupa dua lubang di tebing yang berdekatan.
BACA JUGA:Pangan Murah Pemkab Diserbu Sebelum Layanan Resmi Dibuka, Bupati Mukomuko Ucapkan Takbir
Lebong Tandai, pada masa penjajahan Belanda, merupakan lokasi yang dipenuhi emas. Aktivitas pertambangan di daerah itu dimulai sejak 1890 oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong dan Mijnbouw Maatschappij Simau.
Kedua perusahaan itu merupakan penyumbang besar ekspor emas perak Hindia Belanda dengan produksi ratusan ton emas dan perak selama 1896-1941.
Tugu Monas selain Ikon Kota Jakarta, juga salah satu tugu bersejarah sebagai saksi perjuangan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah.
Sejarah pembangunan Monas berawal dari keinginan Ir. Soekarno presiden Indonesia pertama memiliki monumen nasional setelah pusat pemerintah RI kembali ke Jakarta dari DI Yogyakarta.
Pada dasarnya, Presiden Soekarno menginginkan Monas bisa setara dengan Menara Eiffel di Perancis. Hingga akhirnya, tempat yang dipilih menjadi lokasi monumen nasional adalah lapangan yang tepat di depan Istana Merdeka.
BACA JUGA:Daerah Yang Berpotensi Hujan di Mukomuko dan Wilayah Bengkulu Sore Ini
Pada 17 Agustus 1954, sebuah komite nasional dibentuk. Komite ini kemudian menyelenggarakan sayembara perencanaan dan perancangan monumen. Dari sayembara itulah, berhasil terkumpul 51 karya dari para seniman.
Namun, hanya karya Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan.
Sayembara kedua di tahun 1960 dan masuk 136 karya. Sayang sekali, dari 136 karya tak ada satupun yang memenuhi kriteria.
Rancangan Frederich Silaban pun ditunjukkan ke Presiden Soekarno oleh Ketua Dewan Juri saat itu. Namun sayangnya Presiden Soekarno masih kurang menyukai rancangan tersebut, sehingga bentuk monumen pun diubah menjadi lingga dan yoni.
Penolakan desain yang diajukan Silaban bukan karena tidak bagus, melainkan rancangannya dinilai spektakuler sehingga membutuhkan anggaran cukup besar.