Selanjutnya ia tercatat aktif sebagai gerilyawan Republik yang berjuang di wilayah Cianjur-Sukabumi pada 1949.
Akibatnya, seperti dituliskan dalam otobiografinya: Kemerdekaan Memilih, militer Belanda terus memburunya dan coba menghilangkan nyawanya.
Namun selalu gagal, termasuk suatu operasi khusus yang dilakukan oleh KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda) pada 10 Agustus 1949 di Cilutung Girang, Cianjur.
Dia ingin menjadi bagian dari masyarakat Indonesia sepenuhnya dengan menjadi muslim. Tak lama kemudian, Princen menunaikan ibadah haji.
Berbagai penghargaan sebagai tokoh pahlawan pun diberikan kepada Princen. Dia bahkan bersikap kritis terhadap pemerintahan Soekarno saat itu. Hingga pada 1966, Princen aktif di lembaga Hak Asasi Manusia (HAM).
BACA JUGA:Kesenian Daerah Yang Hampir Punah di Tengah Kemajuan Kepulauan Riau, Nomor 3 Cerita Belanda
Sejak saat itu, Princen dikenal menyuarakan HAM. Dia kerap keluar masuk bui karena dinilai mengkritisi pemerintah. Baik zaman pemerintahan Soekarno maupun Soeharto.
Lantaran aktivitas politiknya itu, kehidupan rumah tangga Princen berantakan. Princen bercerai dengan Heda, istri keduanya. Lalu, dia menikah dengan perempuan Belanda, Janneke Marckmann.
Tetapi, istri ketiganya itu memutuskan kembali ke Belanda dan meninggalkan tiga anak mereka di Indonesia. Pada Februari 2002, Princen meninggal dunia pada usia 76 tahun di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman Pondok Kelapa.*