“Tindakan mereka tidak dapat dikendalikan oleh badan-badan pemerintah yang berwajib,” ujar Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 4: Periode Linggajati.
Wakil Presiden Hatta yang merangkap Menteri Pertahanan sekitar tahun 1947 bahkan sampai terbang menuju Sumut. Tujuannya untuk meredakan ketegangan antara satu laskar perjuangan dengan laskar yang dipimpin Timur Pane.
Hatta dalam otobiografinya “Untuk Negeriku: sebuah Otobiografi” menuliskan, kondisi laskar di Sumut terbilang gawat. Rebutan wilayah satu sama lain sampai berujung pada niat saling bunuh.
“….Sarwono telah ditangkapnya dan hendak dibunuhnya (Timur Pane, red). Kupanggil Timur Pane ke tempatku menginap dan kuperintahkan supaya Sarwono jangan dibunuh,” tulis Hatta.
BACA JUGA:Sultan Hasanuddin dan Putra-Putrinya, Kisah Keharmonisan Keluarga Pahlawan yang Melawan Penjajah
Di hadapan Hatta, Timur Pane tunduk. Tapi dia meminta persetujuan untuk menggempur Belanda dari Medan Area. Permintaaan untuk menggempur dan meminta sejumlah uang dan senjata tersebut diizinkan Hatta.
Laskar Naga Terbang pun sehari setelahnya baku tembak secara sengit dengan militer Belanda berkekuatan 500 orang prajurit yang mendarat di Pantai Cermin, lebih kurang 40 kilometer sebelah timur Kota Medan. Sayangnya, strategi Timur Pane gagal dan Belanda bisa menerobos masuk ke wilayah Medan.
Kekalahan tersebut membuat Timur Pane yang sejak adanya kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi (re-ra) tahun 1948 dilucuti gelar kebanggaannya yang dikenakannya sendiri, yaitu Jenderal Mayor.
Namun, Timur Pane yang tetap berjuang melawan Belanda juga kerap membuat kacau divisi yang ditumpanginya. Seperti di divisi Banteng Negara maupun divisi lainnya. Sehingga kerap membuat pasukan divisi dikerahkan untuk mengusir pasukan Timur Pane yang memakai nama Sang Gerilya.*