Pasalnya, ketika Bung Karno lengser dari pemerintahannya ada peristiwa bersejarah yang tak terlupakan. Melansir buku yang berjudul "Selangkah Lebih Dekiat dengan Soekarno", tertulis dalam buku tersebut jika Bung Karno dipaksa Soeharto untuk meninggalkan Istana Negara.
Ketika meninggalkan Istan, diketahui jika Bung Karno tidak membawa barang-baranga berharaganya.
Ia bahkan meninggalkan berbagai kemeja favoritnya, jam tangan Rolex hingga berebagai barang berharga lainnya di Istana.
Meski demikian, ada satu barang berharga yang justru dibawa oleh Soekarno.
"Ketika meninggalkan Istana Kepresidenan, Bung Karno hanya membawa benda yang merupakan salah satu simbol dari 1001 kisah pengorbanannya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia," tulis Ajdi Nugroho.
Benda yang dibawa, dan digenggam erat oleh Soekarno itu adalah bendera pusaka, Sang Saka Merah Putih.
"Bendera itu hanya dibungkus dengan kertas koran," tandas Adji Nugroho.
Namun, Soekarno kemudian menyadari bahwa Bendera Pusaka merah putih yang dijahit oleh Fatmawati itu bukanlah milik pribadi melainkan sudah menjadi milik bangsa Indonesia.
Roso Daras menulis dalam bukunya, "Total Bung Karno", saat mendapat surat dari Jenderal Soeharto, bahwa Bung Karno harus meninggalkan Istana Merdeka sebelum 16 Agustus 1967, maka teman-teman Bung Karno yang mengetahui rencana itu segera menawarkan dan menyediakan 6 rumah untuk tempat tinggal dan putera puteri Bung Karno.
Mendengar hal itu Bung Karno seketika marah, bahwa ia tidak menghendaki rumah rumah itu. Ia menginginkan semua anak-anaknya pindah ke rumah Ibu Fatmawati.
"Semua anak-anak kalau meninggalkan Istana tidak boleh membawa apa-apa, kecuali buku-buku pelajaran, perhiasan sendiri dan pakaian sendiri. Barang-barang lain seperti radio, televisi dan lain lain tidak boleh dibawa!" demikian Bung Karno memerintahkan.
Guntur -putera tertua- setelah mendengar penjelasan itu merasa kecewa, karena ia sudah terlanjur menggulung kabel antena TV yang akhirnya tidak boleh dibawa pergi.
Sementara Ibu Fatmawati mengeluh karena kamar di rumahnya tidak cukup. Tak berapa lama datang truk dari polisi yang membawa empat tempat tidur dari kayu yang bersusun, dengan kasur dan bantalnya tapi tanpa sprei dan sarung bantal.
Juga beras 6 karung. "Anak-anakku semua disuruh tidur di tempat tidur susun dari kayu, tanpa sprei dan sarung bantal." Konon Ibu Fat, marah-marah kepada utusan yang membawa perlengkapan itu.
Demikian kisah singkatnya, semoga bisa menjadi inspirasi untuk tidak pernah mengeluh dan mengambil yang bukan haknya, walau kondisi sulit.*