Sejak itulah, Soegih gantian yang diburu oleh pasukan Westerling. Berbagai cara dilakukan oleh pasukan Baret Hijau untuk mendapatkan kedudukan komandan Djaja Pangerot tersebut. Termasuk melalui pembersihan-pembersihan brutal terhadap penduduk sipil.
Pernah dalam suatu aksi perburuan di suatu kaki bukit dekat Gunung Halu, pada suatu subuh para prajurit KST mengepung sebuah kampung kecil lalu membakar rumah-rumahnya.
Tidak cukup itu, mereka pun menyiksa kaum laki-laki dan memperkosa kaum perempuannya. Kendati Soegih Arto saat itu ada di suatu bukit yang terletak persis di atas kampung tersebut, namun dia hanya membawa beberapa prajuritnya saja.
“Rasanya marah dan sedih mendengar jerit para perempuan saat diperkosa, tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Karena selain kekuatan kami kecil, orang-orang KST itu ada di tengah rakyat,” ungkap Soegih Arto dalam otobiografinya, Sanul Daca.
Aksi saling buru memburu itu memang tak pernah tuntas. Pada akhirnya, Kapten Westerling memilih jalan damai dengan memberikan surat kepada Mayor Soegih Arto lewat seorang opas desa.
Surat itu berisi ajakan untuk berunding guna menyelamatkan rakyat dari kekejaman perang. Ditegaskan oleh Westerling, andaikan tidak terjadi kata sepakat, sang kapiten akan menjamin keselamatan Soegih untuk kembali ke hutan.
Alih-alih disambut baik, surat itu malah dibalas dengan kata-kata keras dan pengecaman terhadap berbagai aksi brutal Westerling dan pasukannya terhadap rakyat. Singkat kata, Soegih menolak mentah-mentah ajakan Westerling untuk berunding.
“Saya tidak bersedia menemui Westerling karena saya ingat bagaimana dalam sejarah Belanda tak pernah menepati janjinya…Saya ingat riwayat Pangeran Diponegoro yang juga terjebak dengan cara yang sama,” ujar Soegih Arto.
Pada 31 Mei 1948, Kapten Soegih Arto akhirnya tertangkap oleh pihak Kepolisian Federal Negara Pasundan. Dia kemudian dipenjarakan di Penjara Banceuy, Bandung hingga sampai pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
“Kapten Soegih Arto bahkan sempat ditawari untuk bergabung dengan VB (Veiligheids Batallion) sebagai komandan…Namun dia lebih suka terus meringkuk dalam tawanan Belanda,” ungkap A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Periode Renville Jilid VII.
Westerling sendiri sempat mengajukan permintaan khusus kepada pemerintah Negara Pasundan agar Soegih Arto diserahkan langsung kepadanya.
Namun permintaan itu ditolak dengan alasan kesalahan Soegih Arto merupakan murni masalah kriminal hingga itu menjadi urusan kepolisian Negara Pasundan.
Singkat cerita, hingga Indonesia mendapatkan pengakuan Belanda, Mayor Soegih Arto tak berhasil ditangkap Westerling, pun sebaliknya.*