Ia berhasil mengorganisir pasukan-pasukan suku Osing dari berbagai desa dan menyusun strategi-strategi perlawanan.
Tokoh lainnya adalah Nyai Ageng Pinatih, seorang putri raja Blambangan yang menikah dengan Ki Ronggo Prawirodirjo.
Ia merupakan seorang wanita pejuang yang ikut bertempur bersama suami dan rakyatnya. Ia juga menjadi simbol keberanian dan kesetiaan bagi suku Osing.
BACA JUGA:Perang Sampai Titik Darah Terakhir, Pertempuran Perang Puputan Margarana Melawan Belanda
BACA JUGA:Kejahatan Belanda Setelah Kemerdekaan Yang Diadili, Tragedi Rawagede Menyebabkan 431 Korban Jiwa
Perlawanan suku Osing berakhir pada bulan Juli 1771, setelah Belanda berhasil mengepung pasukan-pasukan suku Osing di sebuah bukit bernama Bukit Gumitir.
Di sana, terjadi pertempuran akhir yang sangat sengit dan berdarah-darah. Suku Osing bertempur habis-habisan tanpa mengenal mundur.
Namun, akhirnya mereka kalah jumlah dan kekuatan dari pasukan Belanda yang lebih modern dan terlatih.
Banyak dari mereka yang gugur di medan perang, termasuk Ki Ronggo Prawirodirjo dan Nyai Ageng Pinatih, sebagian kecil dari mereka yang selamat melarikan diri ke hutan atau bergabung dengan kerajaan Bali.
Namun, perlawanan suku Osing tidak sia-sia. Mereka telah menunjukkan keberanian dan kegigihan yang luar biasa dalam mempertahankan tanah air dan kebudayaan mereka.
Mereka juga telah menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk terus berjuang melawan penjajah, perang Puputan Bayu merupakan salah satu perang yang paling heroik dalam sejarah perjuangan rakyat Banyuwangi.