Ternyata sepergian Syahrir dari Belanda, Maria dan suaminya Salomon Tas bercerai secara resmi di pengadilan Belanda.
Maria pun bersurat ke Sjahrir, ia menyusul ke Indonesia atau Hindia Belanda. Dia berlayar mengarungi samudera dari Kolombo ke Medan bersama kedua anaknya yang masih kecil-kecil, setelah perceraiannya dengan Salomon Tas.
Rencananya, Maria akan menemui kekasihnya, Sutan Sjahrir, di Medan, Sumatera Utara.
Pada April 1932, pasangan kekasih yang tengah dilanda rasa rindu mendalam itu akhirnya bertemu. Masih pada bulan itu, tanggal 10, Mieske panggilan sayang Sutan Sjahrir kepada Maria –dan Sidi –panggilan sayang Maria kepada Sjahrir—menikah di sebuah masjid di Medan.
Namun, Maria dan Sjahrir hanya bisa mengecap manisnya hidup berumah tangga tak lebih dari 5 minggu.
Maria yang sehari-hari senang menggunakan kebaya dan kain mengundang perhatian orang Belanda. Apalagi dia yang berkulit putih menikah dengan orang pribumi di masjid.
Melansir dari theasianparent.com, lima minggu setelah menikah, Maria terpaksa diasingkan ke negara asalnya, Belanda. Hal tersebut merupakan hukuman karena masih dianggap belum resmi bercerai dengan Sal Tas.
Menghabiskan waktu untuk membangun opini publik dan mendidik kader, Sutan Sjahrir beranikan diri untuk terjun dalam pergerakan nasional.
BACA JUGA:Ternyata Soekarno Pernah Jatuh Hati Pada 3 Pramugari, Namun Hanya Satu Sukses Dinikahi
BACA JUGA:Saat Presiden Soekarno Resah, Menyadari Sahabatnya Bung Hatta Belum Menikah Diusia 43 Tahun
Namun, aktivitas tersebut menghancurkan dirinya dan terpaksa harus dibuang pemerintah kolonial ke Banda Neira dan Boven Digul.
Setelah diasingkan di Boven Digul, Sjahril semakin sering menuliskan surat untuk Maria. Curahan hati Sjahrir yang rindu akan Maria, tertuang dalam secarik surat panjang yang tersusun dari delapan paragraf di antaranya 5-9 baris.
Melalui suratnya, pada saat itu Sjahrir berharap dapat bertemu Maria yang berada di Belanda untuk bertahan dan mengangkat Sjahrir dari keterpurukan.
Namun, pada 1947, Sjahrir berpisah dengan Maria usai Perang Dunia II. Komunikasi yang biasanya dilakukan dengan surat-menyurat, seketika terputus.
Pada 1947 terjadi pertemuan Sjahrir dengan Maria, namun karena sudah lama terpisah dan sudah berbeda, pertemuan ini terasa biasa-biasa saja.
Termakan oleh waktu yang lama, rasa cinta pun bisa terbilang hilang. Namun, pada saat perpisahan keduanya di New Delhi, Sjahrir sudah menjadi negarawan, Perdana Menteri Republik Indonesia.