RADARMUKOMUKO.COM - Warga etnis Tionghoa di Kalimantan Barat sempat menghadapi masa kelam sekitar tahun 1967. Peristiwa ini dikenal dengan tragedi Mangkuk Merah 1967 dalam rangka penumpasan gerakan sayap kiri komunis oleh sejumlah tokoh Dayak dan ABRI.
Peristiwa ini mengakibatkan setidaknya 3.000 korban tewas terbunuh di pedalaman dan sekitar 4.000-5.000 korban tewas di pengungsian di Pontianak dan Singkawang karena kelaparan.
Pada dasarnya sejak lama, hubungan orang Suku Dayak dan Tionghoa relatif damai, mereka hidup berdampingan bersama. Namun situasi berubah setelah munculnya pengaruh politik eksternal, khususnya setelah Gerakan 30 September 1965 dan penurunan citra Presiden Sukarno karena dituding membela Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menurut sejarahnya, latar belakang terjadinya perstiwa mangkok merah, bermula dari tahun 1963 hingga 1966, pemerintah Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia.
BACA JUGA:Saat Jepang Habisi Ribuan Rakyat Dalam Peristiwa Mandor Berdarah, Begini Kronoligisnya
BACA JUGA:Peristiwa Puputan 20 November Yang Menewaskan I Gusti Ngurah Rai, Perang Sampai Titik Darah Terakhir
Konfrontasi yang didasari oleh penolakan pemerintah Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia ini melibatkan warga Tionghoa di Kalimantan bagian Utara, yang juga memiliki sikap sama dengan Indonesia, yakni menentang pendirian Federasi Malaysia yang didukung penuh oleh Inggris.
Penolakan warga Tionghoa ini didasari oleh kekhawatiran akan terjadinya dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya terhadap rakyat Kalimantan Utara, khususnya warga Tionghoa.
Dalam upayanya mengganyang Malaysia, pemerintahan rezim Soekarno mengikutsertakan sebagian rakyat Kalimantan Utara yang juga menolak pembentukan Federasi tersebut.
Soekarno menugaskan salah satu menterinya, Oei Tjoe Tat, untuk menggalang kekuatan warga Tionghoa Kalimantan Utara yang anti-Malaysia guna mendukung konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris.
Hasilnya, hampir 900 orang Tionghoa Kalimantan Utara bersedia pindah ke daerah Kalimantan Barat untuk memperoleh pelatihan kemiliteran dan dipersenjatai oleh pemerintah Indonesia dan kemudian membentuk Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) di bawah komando seorang perwira Angkatan Darat yang dekat dengan kelompok kiri, yakni Brigadir Jenderal Supardjo, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Tempur IV Mandau.
PGRS/Paraku bahu-membahu bersama TNI dan para sukarelawan Indonesia lainnya menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu bala tentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang masa konfrontasi.
Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Utara menjadi medan perjuangan pasukan PGRS/Paraku.
Pasca Gerakan 30 September
Meletusnya tragedi politik Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) telah meniadakan peran politik Soekarno serta kekuatan politik kiri (komunis) selaku pendukung utama konfrontasi terhadap Malaysia, termasuk peran pasukan PGRS/Paraku.