RADARMUKOMUKO.COM - Salah satu peristiwa paling berdarah masa penjajahan Jepang yang sulit dilupakan adalah Oto Sungkup yaitu Mobil Penutup Kepala. Peristiwa ini lebih dikenal dengan "traged mandor" atau tragedi mandor berdarah di Desa Mandor, Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 28 Juni 1944.
Menurut cerita sejarahnya, kejadian ini adalah pembantaian terkejam pada masanya. Menurut catatan Pemerintah Kalimantan Barat terdapat 21.037 korban jiwa.
Pihak Jepang mengklaim hanya terdapat 1.486 korban dalam peristiwa pembantaian itu. Pemerintahan Jepang menolak klaim terhadap korban tewas menurut Pemerintah Kalimantan Barat.
Untuk mengenang kejadian ini, Pemerintah setempat membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat.
Perda ini merupakan bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor.
BACA JUGA:Kisah Oey Tamba Sia Playboy Kaya Jakarta, Suka Goda Anak Bini Orang, Berakhir di Tiang Gantungan
BACA JUGA:Walau Diklaim Hanya Mitos, Pernyataan Indonesia Dijajah Belanda 350 Tahun Diucapkan Soekarno
Melansir dari nerbagai sumber sejarah, Kalimantan Selatan 1997 merupakan wilayah kekuasaan Angkatan Laut Jepang.
Masuknya angkatan laut ini sebenarnya merupakan salah satu upaya untuk menghadapi Perang Asia Timur Raya yang akan terjadi.
Sehingga berbagai usaha dan kerja paksa diterapkan Jepang. Rakyat dipaksa bekerja tanpa dibayar, disiksa, hingga tak punya pakaian.
Tragedi yang menewaskan ribuan pemuda di Pontianak ini bermula dari kecurigaan Jepang terhadap perlawanan yang akan dilakukan karena kehidupan yang kian susah dan perlakuan Jepang terhadap rakyat yang kejam.
Rakyat yang merasakan ketidakadilan timbul kebencian terhadap Pemerintahan Jepang, dari sinilah muncul benih-benih pemberontakan.
Gelagat pemberontakan ini tercium oleh orang-orang Jepang yang ada di Kalimantan Barat. Dari sinilah mulai terjadi pembantaian.
Terdapat beberapa kelompok yang dianggap akan melakukan pemberontakan, mulai dari tokoh politik, kaum terdidik, bangsawan lokal, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama.
BACA JUGA:Perlintasan Ciater, Jepang Kalahkan Belanda, Sejak Itu Belanda Akhiri Kekuasaan di Indonesia