Gugur dan gagal, Tan Malaka mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PARI) sebagai penyuluh dari pergerakan bangsa. Dari Filipina, pindahlah ke Amoy sebagai tempat pengobatan tradisional baginya.
Tertangkap kembali oleh reserse Inggris dan Hindia Belanda, diinterogasi mengenai Bolshevisme dan berhasil dibebaskan.
Kemudian berpindah ke Jawa setelah Jepang menduduki Amoy tahun ‘42. Di Jawa, dirinya bertempat tinggal di Desa Rawa Jati, Kalibata, Jakarta Selatan. Penanya menuliskan buku Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) sebagai perjuangan mencerdaskan bangsa, disusun selama delapan bulan.
Selain menulis, pekerjaan menerjemahkan bahasa di Perpustakaan dan Buruh Pertambangan di Bayah dilakukannya. Kinerja baik, Tan Malaka berhasil menjadi ketua Badan Pembantu Keluarga PETA (BPP).
Dari sini, kongres pemuda di Jakarta dapat diikutinya pula bertemu dengan Chaerul Saleh, Sukarni, B.M Diah, Anwar dan Harsono Cokroaminoto.
Pada 17 Maret 1946, terjadi perundingan dengan Belanda dan penangkapan anggota Persatuan Perjuangan termasuk Tan Malaka.
Pada tanggal 25 Juni 1946, Syahrir juga ditangkap di Solo dan dibebaskan tanggal 1 Juli 1946.
Pada tanggal 3 Juli 1946, Muhammad Yamin dan Jenderal Sudarsono dituduh akan menjalankan rencana kudeta dan terjadi penangkapan kembali Tan Malaka diikuti pimpinan-pimpinan lain.
Singkat cerita, pada 17 Februari 1949, para pemimpin TNI di Jawa Timur memutuskan bahwa Sabarudin dan rekan-rekannya akan ditangkap dan dihukum sesuai hukum militer.
Pada tanggal 19 Februari, mereka menangkap Tan Malaka di Blimbing. Pada tanggal 20 Februari, Korps Speciale Troepen (KST) Belanda kebetulan memulai serangan bernama "Operasi Harimau" dari kota Nganjuk di Jawa Timur. Mereka maju dengan cepat dan brutal.
Poeze menjelaskan secara rinci bagaimana prajurit TNI melarikan diri ke pegunungan dan bagaimana Tan Malaka yang sudah terluka masuk ke pos TNI dan langsung dieksekusi pada 21 Februari 1949.
Tan Malaka ditembak mati di kaki Gunung Wilis, Selopanggung, Kabupaten Kediri setelah penangkapan dan penahanan di desa Patje.
Menurut Poeze, tembakan itu diperintahkan oleh Letnan Dua Sukotjo dari batalyon Sikatan, divisi Brawijaya. Tidak ada laporan yang dibuat dan Malaka dimakamkan di hutan.*