Selanjutnya, ketika Belanda menguasai daratan Buton pada awal abad ke-20, mereka tetap dihutan untuk menghindari kerja paksa.
Pada tahun 1957-1958 mereka lari lebih jauh lagi ke dalam hutan untuk menghindarkan diri dari kekejaman gerombolan DI/TII.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka berladang, yang dilakukan secara berpindah-pindah.
BACA JUGA:Suku Mangaia Dengan Tradisi Gadis Bebas Miliki Pasangan Sebanyaknya dan Mengajari Anak 13 Tahun
BACA JUGA:Kejamnya Penjajah dari Luar Menyebabkan Empat Suku Ini Punah
Mereka sengaja tidak mendirikan sebuah kampung agar lokasi kediaman mereka tidak diketahui "musuh". Kadang kala mereka melakukan barter dengan penduduk sekitar.
Mereka membawa pucuk rotan, padi, jagung, atau tembakau, yang kemudian ditukarkan dengan garam, pakaian, tombak, dan lain-lain.
Karena memang asal-usulnya sama dengan penduduk sekitarnya, mereka menggunakan bahasa yang sama pula. Bahkan bentuk rumah mereka pun sama dengan rumah peladang di kampung-kampung sekitarnya.
Pada tahun 1991 sebanyak 16 kepala keluarga yang meliputi 42 jiwa hidup di tengah-tengah penduduk dan berladang secara menetap. Mereka menempati barak kayu yang dibangun pemerintah.*