RADARMUKOMUKO.COM - Walau jauh lebih singkat dari pendudukan Belanda, namun derita rakyat Indonesia selama penjajahan Jepang tidak kalah menyakitkan. Jepang memainkan jurus propaganda, kemudian melakukan penindasan dengan menerapkan kerjak paksa atau Romusha kepada rakyat.
Jepang juga membentuk kesatuan militer yang dinamakan Pembela Tanah Air (PETA) dengan anggotanya adalah putra putri Indonesia sendiri.
BACA JUGA:Princess Mulan Indonesia, Pendekar Wanita Melawan Belanda Yang Akhirnya Hidup Menyedihkan
Rencana Jepang PETA digunakan untuk mempertahankan wilayah Indonesia sebagai antisipasi jika terjadi penyerangan oleh pasukan Sekutu.
Komandan dan pimpinan PETA, Shodancho Soeprijadi merasa prihatin pada nasib rakyat Indonesia, khususnya di Blitar, Jawa Timur yang hidup sengsara di bawah kekuasaan Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II.
Penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi dikarenakan Kekaisaran Jepang menerapkan kebijakan yang sangat brutal, seperti kerja paksa alias romusha, perampasan hasil pertanian, dan perlakuan rasial seperti halnya kekuasaan fasisme di Eropa.
BACA JUGA:Kisah Istana Negara, Dulunya Milik Orang Belanda, Kini Menjadi Pusat Indonesia
Perlakuan rasis juga dialami oleh tentara PETA yang notabene adalah bentukan pihak Jepang sendiri. Berdasarkan hal-hal itulah, Soeprijadi kemudian mengkonsolidasikan pasukannya untuk melakukan pemberontakan melawan Tentara Kekaisaran Jepang
Para prajurit PETA merasa sangat geram ketika melihat tentara Jepang melecehkan wanita-wanita Indonesia. Para wanita ini dijanjikan mendapat pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas napsu tentara Jepang.
Tak hanya itu saja, ada pula aturan walau sekelas Komandan Batalyon atau Daidan, tentara PETA wajib memberi hormat pada serdadu Jepang walau pangkatnya lebih rendah. Harga diri para perwira PETA pun terusik.
BACA JUGA:5 Perang Besar 1945 Setelah Kemerdekaan Indonesia, Belanda dan Sekutu Belum Rela
Seperti yang terdapat dalam buku Tentara Gemblengan Jepang yang ditulis Joyce J Lebra dan diterjemahkan Pustaka Sinar Harapan tahun 1988, dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan Supriyadi dan para Shodanco lain.
Bahkan sejak bulan September 1944 sudah digelar pelbagai pertemuan yang bersifat rahasia. Shodancho Supriyadi merencanakan aksi yang tak hanya sekedar pemberontakan saja tetapi juga sebuah aksi revolusi yang bertujuan mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Hal itu terlihat dari komunikasi para pemberontak dengan Komandan Batalyon di wilayah lain untuk sama-sama mengangkat senjata.
BACA JUGA:Mobil Pertama Orang Indonesia Ternyata Berada di Belanda, Belum Berhasil Dikembalikan