Oleh: Moh Fatichuddin (ASN BPS Provinsi Bengkulu)
Pagi itu di loby sebuah hotel di Mukomuko dalam suasana santai minum kopi saya bertemu dengan beberapa orang sesama tamu, kebetulan tamu-tamu tersebut dari Bandung. Mereka dari Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (STP) Bandung dahulu dikenal dengan STP NHI. Datang ke Mukomuko dalam rangka pelaksanaan kerja sama STP Bandung dengan Dinas Pariwisata Kab. Mukomuko. Itulah awal obrolan kami di pagi itu, suatu kebetulan yang baik menurut saya. Kami sama-sama bercerita bagaimana bisa ada di Mukomuko pagi itu. Bagaimana melihat Bengkulu secara umumnya dan Mukomuko secara khusus. Obrolan tidak jauh dari tema pariwisata, kami sependapat dan berharap pariwisata Bengkulu dan Mukomuko khususnya lebih maju dan dapat menjadi salah satu penggerak ekonomi lokal.
Mukomuko merupakan bagian wilayah Provinsi Bengkulu, sekitar 6-7 jam perjalanan darat dari Kota Bengkulu. Mukomuko merupakan bagian dari pemekaran dari Kab. Bengkulu Utara, berbatasan dengan Kab. Pesisir Selatan Sumatera Barat di utara dan dengan Kab. Kerinci Jambi di timur serta Samudera Hindia di barat.
Berbicara wisata Mukomuko, penulis pernah mengunjungi destinasi Benteng Anna dan Danau Nibung. Dengan lokasi strategis Mukomuko sangat memungkinkan untuk pemerintah daerah mengembangkan potensi tersebut sehingga lebih maksimal. Pegembangan yang mungkin di wisata histori, wisata Pendidikan, wisata budaya, agrowisata dan sebagainya.
Dalam perekonomian Mukomuko untuk melihat peranan pariwisata dapat dilakukan dengan mencermati angka-angka PDRB di beberapa kategori seperti penyediaan akomodasi dan makan, transportasi dan pergudangan, perdagangan besar dan eceran serta mungkin di kategori jasa keuangan. Beberapa kategori kegiatan ekonomi yang disebutkan memiliki peran relatif kecil kecuali perdagangan. Namun demikian meski relatif kecil perannya jangan sampai kategori tersebut diabaikan, karena mendukung suksesnya kategori lainnya. Peranan mereka berkisar masing-masing sekitar 1-1,5 persen, sedangkan pedagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor mencapai 16,16 persen.
Berbicara pariwisata maka tidak akan lepas dari hotel sebagai pendukung lancarnya kegiatan pariwisata. Untuk Mukomuko jumlah hotel dari tahun ke tahun terus meningkat, di tahun 2011 memiliki 16 hotel dan mengalami peningkatan hingga di 2020 Mukomuko telah memiliki hotel sebanyak 23 hotel dengan kualifikasi non bintang. Sedangkan untuk fasilitas lainnya seperti perbankan, transportasi dan komunikasi relatif tersedia.
Strategi
Pandemi covid-19 telah menorehkan catatan dalam sejarah bahwa akibat covid-19 sektor pariwisata luluh lantak. Daerah-daerah yang menjadikan pariwisata sebagai unit tunggal dalam perekonomian sangat merasakan dahsyatnya covid-19. Parahnya pariwisata disbanding kegaiatan ekonomi lainnya, karena pariwisata bergantung pada sektor kegiatan tersebut. Sehingga pada saat sektor-sektor tersebut bergejolak maka “muaranya” dampak dari semua adalah pariwisata.
Namun demikian kita harus optimis bahwa di tengah-tengah serangan covid-19 sekarang ini kegiatan pariwisata akan mampu bangkit bahkan sangat mungkin menjadi pemicu bangkitnya sektor ekonomi lainnya. Ada beberapa faktor yang mungkin akan berpengaruh terhadap jalannya kegiatan pariwisata di Mukomuko. Pertama kepastian status lahan calon destinasi wisata. Mukomuko secara geografis memiliki pesesir pantai yang indah, untuk menjadikannya sebagai sebuah destinasi wisata maka perlu dipastikan dulu status dari pesisir pantai tersebu, apakah sebagai cagar alam atau bukan.
Peraturan Menteri Pariwisata RI Nomor 3 Tahun 2018 tentang petunjuk operasional pengelolaan dana alokasi khusus fisik bidang pariwisata dalam lampirannya petunjuk operasional pengelolaan DAK fisik bidang pariwisata. Pada bab II Penilaian, Pengalokasian dan Penyaluran di bagian A point 2.c menuliskan untuk usulan lokasi yang berada di area yang menjadi kewenangan sektor lain (contoh: area konservasi, cagar budaya, dll) harus mendapat ijin secara tertulis dari instansi terkait (contoh: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).
Berikutnya kedua faktor unifikasi (keunikan yang tidak dimiliki pihak lain). Kita jangan mudah tergiur oleh keberhasilan wisata daerah lain dengan meniru segala sesuatu dari sana. Sangat mungkin untuk jangka pendek akan terlihat berhasil, padahal secara jangka panjang sesungguhnya merugi. Karena secara ekonomi Break Event Point (BEP) belum terjadi pada saat wisata tersebut sudah tidak laku. Berbeda kalau hanya mempelajari kesuksesan wisata daerah lain namun tidak semata meniru, tapi melahirkan sesuatu yang unik, beda dan tidak ada di tempat lainnya. Keunikan inilah yang menjadi daya tarik suatu destinasi wisata, bisa unik dari objek, bisa unik dari layanan atau bisa unik dari penyajian.
Setelelah unifikasi dimiliki, faktor berikutnya yang tak kalah penting adalah aksesibilitas. Pada saat status lahan secara legal sudah terpenuhi dan keunikan juga sudah menarik masyarakat maka kemudahan aksesibilitas untuk menikmati wisata tersebut menjadi penting. Wisata sangat dekat dengan rasa, sehingga kesan pertama seseorang saat mengunjungi destinasi wisata tersebut menjadi penting. Infrastruktur jalan yang nyaman, mudah dan mungkin murah bisa menjadi keunggulan tersendiri. Kenyamanan di perjalanan menuju destinasi dapat menjadi perjalanan wisata tersendiri, kenyamanan tersebut sangat yakin akan diceritakan kepada para kolega atau lingkungan wisatawan. sebaliknya kekecewaan dalam perjalanan menuju destinasi juga dapat dipastikan akan beredar pula di masyarakat, terlebih di era media social saat ini.
Aksesibilitas lain yang tak kalah penting dalam wisata adalah ketersediaan fasilitas pendukung. Biasanya sebuah destinasi wisata berada jauh dari pemukiman maka fasilitas-fasilitas untuk keperluan badan seperti akomodasi, kebersihan, toilet dan sejenisnya menjadi sangat fital. Fasilitas ekonomi juga tidak bisa dipandang sebelah mata, adanya Anjungan Tunai Mandiri (ATM) berbagai perbankan akan sangat bermakna. Adanya pusat oleh-oleh ataupun kuliner bisa menjadi sisi lain aksesibiltas yang dapat ditonjolkan.
Target pasar atau konsumen juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengembangan wisata di suatu wilayah. Target pasar ini akan menentukan keberlanjutan dari kegiatan wisata. Dengan melihat faktor-faktor sebelumnya maka dapat ditentukan target pasar yang diharapkan. Pada saat destinasi wisata tersebut memliki unifikasi yang menonjolkan tantangan dan perlu biaya tinggi maka sangat mungkin target pasarnya adalah kalangan menengah ke atas. Pada target pasar seperti ini, sangat mungkin jumlah wisatawan relatif sedikit namun dari sisi spending money nya jauh lebih besar.
Sebaliknya pada saat target pasarnya adalah masyarakat secara luas, mulai dari kalangan atas hingga bawah maka dalam pencarian unifikasi dan biaya produksi relatif rendah. Pada target pasar ini jumlah wisatawan menjadi target utama, meski dimungkinkan penggunaan uang relatif tidak tinggi namun dengan jumlah yang banyak maka pemasukan bagi wilayah tersebut akan sangat berarti.
Setelah beberapa faktor tersebut sudah dipertimbangkan dan diputuskan maka selanjutnya diperlukan regulasi, kebijakan dan aturan pemerintah yang mampu mengayomi faktor-faktor tersebut sehingga dapat berpengaruh positif bagi pariwisata. Regulasi yang dilahirkan tidak hanya untuk memenuhi target jangka pendek namun juga memperhatikan keberlanjutan dari pariwisata. Aturan-aturan pemerintah tersebut tidak hanya menguntungkan pemerintah secara sepihak, namun juga dapat membuat masyarakat nyaman dan aman dalam menikmati wisata.