Masa Kolonial Belanda, Budak Asal Bali Lebih Diminati, Karena Cantik, Penurut dan Juga Kekar
Masa Kolonial Belanda, Budak Asal Bali Lebih Diminati, Karena Cantik, Penurut dan Juga Kekar --
RADARMUKOMUKO.COM - Terkait dengan perbudakan pada masa kolonial Belanda bukan rahasia lagi, walau sebetulnya Belanda sempat berkeinginan menyembunyi sejarah perbudakan yang kejam tersebut. Budak laki-laki dinamai Djongos, sementara budak perempuan disebut dengan Babu.
Seorang budak nasib mereka tergantung kepada pemiliknya, kalau tidak disenangi suatu waktu dapat dijual lagi kepada orang lain.
Melansir dari berbagai sumber, budak pada masa Belanda menjajah Indonesia punya nilai tinggi, mereka mengerjakan berbagai jenis pekerjaan kasar.
Pekerjaan budak laki-laki diantaranya sebagai tukang membangun rumah Belanda, juga kerja paksa membangun kantor, benteng maupun jalan. Kemudian pekerja kebun, kerja di galangan kapal, di gudang atau di rumah tangga.
Budak perempuan atau babu mengurus keperluan rumah, memasak, mencuci, bersih-bersih bahkan jika dianggap menarik dan disukai oleh tuannya juga harus melayani urusan kasur.
Budak-budak ini berasal dari tawanan perang maupun orang yang berutan, bahkan diambil paksa. Hingga ada bisnis jual beli budak dari penyedia.
Nilai budak juga berkembang, harga budak bisa ditentukan dari usia dan tenaganya, namun pada abad XVIII harga beli seorang perempuan muda dua sampai tiga kali lebih tinggi daripada harga beli laki-laki.
Yang menarik, budak dari Bali ternyata lebih disukai pada masa kolonial Belanda dibandingkan budak-budak lainnya yg diperjualbelikan di pasaran Nusantara.
Budak asal Bali pada umumnya di jual di Batavia, dan daerah-daerah lainnya di Nusantara, di Afrika Selatan, dan pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Seperti dilansir dari beritabali.com, terungkap dalam sebuah artikel berjudul “Perdagangan Budak di Bali Pada Abad Ke XVII-XIX: Eksploitasi, Genealogi, dan Pelarangannya” yang dipublikasikan dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 20 nomor 1 Tahun 2018.
Artikel tersebut ditulis oleh I Wayan Pardi dari Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: