Pasar Sore, COD Ala Pedagang Pinggiran
Ide Besar dari Pedagang Kecil
PASAR sore menjadi gerakan ekonomi baru di Kabupaten Mukomuko. Sejak sekitar 6 minggu yang lalu, pasar sore aktif di beberapa desa. Diantaranya Senin sore di Sumber Mulya, Sabtu di Rawa Bangun Kecamatan XIV Koto. Selasa di Manjuto Jaya, Jumat di Sido Makmur Kecamatan Air Manjuto, Kamis di Setia Budi Kecamatan Teras Terunjam. Pasar ini merupakan bentuk Cash On Delivery (COD) ala pedagang pinggiran. Ide adanya pasar sore ini, muncul dari pedagang kecil yang merasa tidak mampu bersaing dengan pedagang besar di 'Pasar besar'. Pasar sore dimulai sekitar pukul 13.30 WIB dan bubar menjelang waktu magrib.
SAHAD ABDULLAH - Air Manjuto Subadi duduk bersila di atas tanah beralaskan terpal lusuh yang warnanya mulai pudar. Di depannya terdapat beberapa cumpuk dagangan berupa, kabau, petai, cabai rawit, telur asin, ada juga mentimun dan ikan asin. Ia merupakan satu dari sekitar 50 pedagang yang ada di pasar sore, Desa Sido Makmur. Sebagian barang tersebut merupakan titipan warga untuk dijual, sebagian lagi dagangan milik sendiri. Sesekali ada pengunjung pasar yang datang dan bertanya harga. Ada yang beli, setelah tawar-menawar, ada juga yang langsung pergi tanpa basa-basi. Sebagian pengunjung membeli tanpa menawar. Entah karena kasihan dengan penjualnya atau memang butuh dengan barang tersebut. Dengan sabar dan ramah, Subadi melayani setiap pengunjung. "Kesewun nggih (Terima kasih ya..)," ucap Subadi setelah terjadi transaksi. Subadi merupakan orang yang memiliki ide untuk mengadakan pasar sore. Sejak sekitar 1 tahun terakhir, pria bungsu dari 3 bersaudara ini jualan di pasar-pasar tradisional. Mulai dari pasar Kamis di Desa Lubuk Pinang, pasar Rabu di Lubuk Sanai III dan lain sebagainya. Karena keterbatasan modal, sebagian besar dagangannya merupakan titipan. Dengan segala keterbatasan yang ada, ia merasa tidak mampu bersaing dengan pedagang besar. Waktu terus berjalan, kondisi ekonomi tidak kunjung membaik. Subadi tidak sendirian, banyak pedagang lain yang nasibnya sama. "Pedagang kecil seperti saya ini, sulit bersaing dengan pedagang besar. Kami berunding sekitar 7 atau 8 orang, saya tawarkan untuk membuat pasar sore. Mereka setuju dan mengajak pedagang lain. Pasar sore pertama itu di SP 3, - Selagan Jaya," kata Subadi mengawali kisahnya. Setelah para pedagang sepakat, Subadi bertugas sebagai tukang lobi dengan pemerintah desa setempat. Seluruh Kades yang didatangi langsung setuju dengan diadakannya pasar sore. Sebagian besar, pasar sore ini diadakan di eks transmigrasi. Yang notabene pernah ada pasar, kemudian mati. "Kami hanya butuh tempat untuk berjualan. Mengenai pengurusan pasar, sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah desa," tambah lulusan jurusan ilmu komunikasi Universitas Bengkulu ini. Keberadaan pasar sore ini mendatangkan banyak peluang usaha baru bagi warga setempat. Setiap pedagang dikenakan biaya Kebersihan Rp 5000,- per sekali jualan. Pengurus pasar juga bisa mendapatkan retribusi parkir dari para pengunjung. Jumlah pedagang di setiap desa berbed-beda. Berkisar antara 50- 80 pedagang. Seiring dengan kemajuan waktu, pedagang disetiap desa terus bertambah. Baik jenis maupun jumlahnya. "Selama masih ada pembeli, kami para pedagang akan tetap datang. Sekarang pedagang di pasar sore semakin komplit. Awalnya hanya pedagang kecil, sekarang pedagang besar mulai datang," paparnya. Adanya pasar sore ini merupakan hubungan simbiosis mutualisme antara pedagang dengan pemerintah desa. Bukan hanya para pedagang yang mendapatkan keuntungan dari hasil transaksi, pemerintah desa juga bisa mendapatkan Pendapatan Asli Desa (PADes). Warga yang selama ini jarang ke pasar karena jauh, dengan adanya pasar sore, mereka juga bisa ke pasar. "Orang bawa uang Rp 50 ribu sudah berani ke pasar. Kalau belanja On Line bisa COD, pasar sore ini, COD ala kami - pedagang kecil," tutup Subadi sambil memgemasi dagangannya karena hari hampir malam. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: