Namun harapan itu sirna setelah mereka berlabuh di Borneo. Belum lama di di Banjarmasin, mereka dibawa ke Hotel Telawang. Mardiyem ditempatkan di kamar No.11. Mereka tidak pernah membayangkan menjadi budak seks militer Jepang. Tubuhnya menjadi pelampiasan puluhan lelaki, silih berganti, siang dan malam setiap hari.
“Perlakuan seperti binatang, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kenang Mardiyem penuh rasa pahit.
Hidupnya sangat kelam, di masyarakat dipandang sinis oleh penduduk sekitar, yang menyebutnya ransum Jepang. Para perempuan nakal di Telawang menganggap mereka sebagai pesaing. Belum lagi diterungku, diawasi, dan dibatasi geraknya.
Tentara Jepang yang menggunakan tubuhnya harus membayar, nmun, Mardiyem tak menerima pembayaran, semua disimpan pengelola rumah hiburan. Janjinya akan menerima hasil kerjanya setelah keluar dari sana, namu semua hanya janji kosong belaka.
Pemilik rumah bordil yang ditinggali Mardiyem adalah seorang Jepang yang juga mengelola restoran. Chikada namanya. Sikapnya sangat kasar. Chikada pernah menghamili pembantunya sendiri.
Mardiyem juga pernah disiksa karena menolak melayani tamu. Akibat pukulan dan tendangan bertubi-tubi, Mardiyem pingsan hampir enam jam.
Parahnya lagi, ketika mengandung lima bulan, ia dipaksa untuk menggugurkan janin. 'Perut saya ditekan, sakitnya bukan main, dan ketika keluar, janin masih menggeliat,' ujar Mardiyem tentang masa lalunya yang gelap pada suatu wawancara dengan Radio Nederland di awal tahun 2007.
Beruntung ia bisa pulang ke Yogyakarta pada 1953.*