Kisah Friedrich Silaban Anak Pendeta, Perancang Masjid Istiqlal Bukti Toleransi Berbangsa

Jumat 15-09-2023,05:00 WIB
Reporter : Tim Redaksi RM
Editor : Amris

Dikutip dari surat kabar Kompas edisi 21 Februari 1978, enam tahun setelah Masjid Istiqlal selesai dibangun, F. Silaban mengatakan: "Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga tidak tahu dari mana datangnya."

BACA JUGA:Genap 2 Tahun, Kinerja Holding Ultra Mikro — BRI, Pegadaian, dan PNM, Luar Biasa!

BACA JUGA:Kisah Perbudakan Brutal Hingga Jual Beli Budak Semasa Kolonial Belanda, Gadis Cantik Lebih Laris dan Disukai

"Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan berdasarkan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap sebuah masjid," lanjut dia.

Ketika era Orde Baru dimulai, Soeharto mencoba untuk menghapuskan semua hal yang terkait dengan rezim Soekarno, termasuk Friedrich, seseorang yang diasosiasikan dengan Soekarno. 

Kedekatan Friedrich dengan Soekarno menyebabkan kariernya jatuh pada rezim Soeharto. "Dalam fase hidup terakhirnya, beliau sangat haus akan pekerjaan dan penghasilan. Upah pensiunannya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar, juga harga dirinya," tulis buku Rumah Silaban.

Melansir dari wikipedia, Friedrich Silaban telah menerima anugerah Tanda Kehormatan Bintang Jasa Sipil pranala nonaktif permanen berupa Bintang Jasa Utama dari pemerintah atas prestasinya dalam merancang pembangunan Masjid Istiqlal.

Friedrich Silaban juga merupakan salah satu penandatangan Konsepsi Kebudayaan yang dimuat di Lentera dan lembaran kebudayaan harian Bintang Timur mulai tanggal 16 Maret 1962 yakni sebuah konsepsi kebudayaan untuk mendukung upaya pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional. 

Termasuk musik yang diprakarsai oleh Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) onderbouw Partai Komunis Indonesia dan didukung oleh Lembaga Kebudayaan Nasional (onderbouw Partai Nasional Indonesia) dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) milik Pesindo.

Friedrich Silaban juga berperan besar dalam pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Pada April 1959, Ir. Soehartono Soesilo yang mewakili biro arsitektur PT Budaya dan Ars. F. Silaban merasa tidak puas atas hasil yang dicapai pada Konferensi Nasional di Jakarta, yakni pembentukan Gabungan Perusahaan Perencanaan dan Pelaksanaan Nasional (GAPERNAS).

Di mana keduanya berpendapat bahwa kedudukan "perencana dan perancangan" tidaklah sama dan tidak juga setara dengan "pelaksana". 

Mereka berpendapat pekerjaan perancangan berada di dalam lingkup kegiatan profesional (konsultan), yang mencakupi tanggung jawab moral dan kehormatan perorangan yang terlibat, karena itu tidak semata-mata berorientasi sebagai usaha yang mengejar laba (profit oriented). 

BACA JUGA:Mengapa Perkebunan Lada Harus Ditanam di BABEL? Ternyata Ini Alasan Penjajah

BACA JUGA:Ternyata Dibawah Gunung Berapi Purba Ditemukan Harta Karun Terbesar di Dunia

Sebaliknya pekerjaan pelaksanaan (kontraktor) cenderung bersifat bisnis komersial, yang keberhasilannya diukur dengan besarnya laba dan tanggung jawabnya secara yuridis/formal bersifat kelembagaan atau badan hukum, bukan perorangan serta terbatas pada sisi finansial.

Akhir kerja keras dua pelopor ini bermuara pada pertemuan besar pertama para arsitek dua generasi di Bandung pada tanggal 16 dan 17 September 1959.

Kategori :