Tradisi gemblak sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Menurut sejarah, tradisi ini bermula dari kisah cinta antara Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, dengan seorang warok bernama Ki Ageng Kutu.
Prabu Brawijaya jatuh cinta pada Ki Ageng Kutu karena kegagahan dan kesaktiannya. Ia pun menyerahkan tahtanya kepada Ki Ageng Kutu dan hidup bersamanya di Ponorogo.
BACA JUGA:Sudah Gunakan Teknologi Kekinian, Wanita Suku Xingu Tetap Pertahankan Tradisi Tanpa Pakaian
Namun, tradisi ini mulai ditinggalkan dan ditentang oleh masyarakat Ponorogo seiring dengan perkembangan zaman dan agama.
Banyak pemuka agama yang menganggap tradisi ini bertentangan dengan ajaran Islam dan moralitas.
Mereka juga khawatir tradisi ini akan menimbulkan penyakit menular seksual dan gangguan psikologis bagi para gemblak.
Kini, praktik warok-gemblak sudah jarang ditemukan di Ponorogo. Peran gemblak dalam pertunjukan Reog juga digantikan oleh jathil, yaitu prajurit perempuan yang menunggangi kuda lumping.
Meskipun demikian, tradisi gemblak masih menjadi bagian dari sejarah dan budaya Ponorogo yang unik dan menarik untuk diketahui.*