Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa Kaum Padri kepada kemenangan dalam perang ini.
Namun kemudian pada tahun 1821 Kaum Adat yang terdesak meminta bantuan pada pemerintah Kolonial Belanda.
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung.
Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.
Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam.
BACA JUGA:Suku-Suku yang Pernah Berperang dengan Nabi Muhammad SAW
Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, yang membuat pemimpin pasukan Belanda yaitu Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822.
Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan maka Letnan Kolonel Raaff mencoba kembali menyerang Lintau. Namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.
Pada tahun 1824, raja terakhir Minangkabau yaitu Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 beliau wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.
Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang yaitu periode gencatan senjata yang disepakati antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
BACA JUGA:Suku Wanita Penculik Pria di Amazon, Keberadaannya Belum ada Bukti
Saat itu memang posisi Pemerintah Hindia Belanda tegah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik di daerah Eropa dan Jawa (Perang Diponegoro) yang menguras dana pemerintah.
Selama periode gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kesepakatan yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar.
Kesepakatan ini berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" yang artinya "adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an" dan menjadi puncak revolusi Islam dalam adat Minangkabau.*